Senin, 02 Februari 2009

Latihan Membuat Cerpen

MENULIS DESKRIPSI DAN NARASI

Banyak jenis tulisan bertebaran yang dapat kita jumpai di media masa dalam berbagai bentuk seperti deskripsi, cerpen, anekdote, artikel, satir, feature dan lain-lain. Untuk meningkatkan kemampuan menulis pada bagian ini Anda diajak untuk berlatih menulis deskripsi sebagai pelengkap menulis cerpen/novel yang menghidupkan dan memberikan kesegaran sebuah cerita.

1. Deskripsi
Deskripsi adalah penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya dapat “melihat” apa yang dilihatnya, dapat “mendengar” apa yang didengarnya, “mencium bau” yang diciumnya, “mencicipi” apa yang dimakannya, “merasakan” apa yang dirasakannya, serta sampai kepada “kesimpulan” yang sama dengannya. Di sini dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil dari observasi melalui panca indera, yang disampaikan dengan kata-kata.
Jika dituliskan dengan baik, artinya jika penulisanya mempunyai pengamatan yang tajam dengan semua inderanya, kemudian mampu menuliskannya dengan kata-kata yang tepat atau mampu mempergunakan perbandingan dengan tepat, deskripsi ini merupakan tulang punggung penulisan yang “hidup” dan “menawan”.
Ada berbagai macam cara penulisan deskripsi, dan perbedaan-perbedaan ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan yang sama, dan lagi pula tujuan pengamatan itu berbeda-beda pula.
Walaupun ada bermacam-macam bentuk deskripsi yang dapat dituliskan, secara garis besar kita hanya membedakan atau dua macam saja (deskripsi ekspositori dan deskripsi impresionismtis) dan pembedaan itu pun tidaklah terlalu penting.

Deskripsi Ekspositori
Deskripsi ekspositori adalah deskripsi yang sangat logis, yang isinya biasainya merupakan daftar rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urut-urutan logis objek yang diamati itu
Setiap benda, setiap tempat, setiap suasana tentu mempunyai logika urut-urutan sendiri. Jika kita mengamati dan ingin mendeskripsikan rangkaian kereta api, maka urut-urutan logisnya adalah dari depan (lokomotif) ke belakang (gerbong-gerbong) yang mengikuti lokomotif tadi. Seorang manusia lebih logis dideskripsikan dari atas ke bawah. Dan karena kita mengembangkan pengamatan atau observasi kita menurut ruang, artinya dari satu ruang atau sisi ke ruang atau sisi lainnya, maka deskripsi seperti ini juga dikatakan sebagai deskripsi dengan pengembangan ruang atau spasi..

Deskrip Improsionistis
Deskripsi impresionistis, kadang-kadang dinamakan juga deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Berbeda dari deskripsi ekspositori yang biasanya agak lebih ketat terikat pada objek atau proses yang didesprpsikan, deskripsi impresionistis ini lebih menekankan pada impresi, atau kesan, penulisnya ketika melakukan observasi atau ketika menuliskan impresi tersebut.
Kalau dalam deskripsi ekspositoris dipakai urut-urutan logika atau urut-urutan peristiwa objek yang dideskripsikan itu, maka dalam deskripsi impresionistis urutan yang dipakai adalah menurut kuat-lemahnya kesan penulis terhadap bagian-bagian objek itu. Seseorang yang mendeskripsikan kamar asrama tempat temannya tinggal, dan berkmaksud menonjolkan kejorokan yang dilihatnya di sana, agaknya akan mulai dengan bau yang diciumnya, baru hal-hal lain seprti pakaian kotor bergantungan di mana-mana, kulit buah berserakan di sana-sini, pengaturan ventilasi udara dan sebagainya.

Perhatikan tulisan berikut ini.
(1) Bis kota di Jakarta banyak yang sudah reyot, kebersihannya pun tidak terpelihara. Di lantai bis banyak berserakan segala macam sampah dan debu. Para penumpang selalu berjubel, dan meraka biasanya meludah seenaknya di lantai bis. Ada pula banyak tukang copet di dalam bis, dan mereka tidak pilih bulu. Lelaki, wanita, tua, muda, semua yang lengah pasti dicopet. Biasanya ada pula penjaja majalah, yang menawarkan majalah aneka warna, dengan harga murah, tetapi ternyata majalah yang mereka jual adalah terbitan tiga tahun lalu.
(2) Ketika saya sedang menaiki bis kota kemarin, di pintu saya dihadang dua orang tukang copet. Mereka berpakaian perlente, salah-salah lihat seprti mahasiswa, karena membawa buku dan map-map. Ketika saya melewati mereka, mereka mencoba meraba saku saya, tapi saya cukup waspada. Seorang wanita yang naik di belakang saya tiba-tiba menjerit kehilangan dompet, ketua “mahasiswa” itu segera turun dan menghilang di antara kerumunan orang-orang di terminal.
Di lantai bis banyak berserakan sampah. Udara di dalam bis sangat panas karena penumpangnya penuh sesak. Untung saya mendapat tempat duduk di dekat jendela, tapi orang tua yang duduk di samping saya batuk-batuk, dan meludahkan dahak seenaknya ke lantai bis.
Bis masih belum berangkat walaupun sudah penuh sesak. Melalui jendela bis ada orang yang menawarkan majalah aneka warna. Murah, cuma lima ratus rupiah. Orang tua yang batuk-batuk itu membeli sebuah. Ketika bis mulai bergerak, tia-tiba orang tua itu memaki, “Sialan! Terbitan tiga tahun yang lalu!”

Tulisan (1) adalah realita. Perhatikan perkataan “pada umumnya”. Itulah kuncinya yang menyebabkan data-data di dalm tulisan pertama kita namakan realita, bukan fakta.
Penulis (2), sebaliknya, hanya mendeskripsikan apa-apa yang benar-benar dilihatnya, atau yang diakuinya sebagai dilihatnya pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Di dalam penulisan deskripsi, yang dideskripsikan itu fakta, bukan realita dan bukan pula aneh tapi nyata. Oleh karena itulah deskripsi dikatakan sebagai hasil observasi dengan menggunakan semua indera, sedangkan realita dapat dituliskan dengan mencari data di koran-koran.

2. Narasi
Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan pada urut-urutan suatu (serangkaian) kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian itu ada tokoh (atau beberapa tokoh), dan tokoh ini mengalami atau menghadapi suatu (serangkaian) konflik atau tikaian. Kejadian, tokoh, dan konflik ini merupakan unsur pokok sebuah narasi.
Narasi bisa berisi fakta, bisa pula fiksi atau rekaan (khayalan) saja. Yang berisi fakta misalnya biografi, otobiografi, kisah sejati. Yang sering/banyak kita jumpai narasi berupa fiksi atau rekaan. Inilah yang kita namakan cerpen, novel, serta cerita bersambung.
Di dalam sebuah narasi bisa terdapat satu alur saja, bisa pula lebih. Bisa pula terdapat sebauah alur utama dan beberapa buah alur tambahan, atau sub plot.
Semua ini penting kita pahami sejak dini agar kita dapat membedakan mana narasi yang sempurna dan mana yang tidak sempurna. Untuk jelasnya mari kita baca yang berikut ini.
Hari ini Tuan Munir bangun lebih awal dari biasanya. Istrinya, mereka baru tiga bulan berumah tangga, terheran-heran melihat suaminya sempat sholat subuh, sedangkan biasanya dia baru bangun lewat pukul enam, terburu-buru mandi dan sarapan, lantas mendorong motornya ke luar dari lorong samping rumah, dan segera meluncur pergi ke kantor.
“Pagi amat, Kak, hari ini,” tegur istrinya yang masih pengantin baru itu.
“Ada rapat penting di kantor,” jawab Tuan Munir singkat.
Ketika Tuan Munir tiba di kantor, para pesuruh belum lagi selesai membersihkan ruangan. Mereka pada berdehem, tapi Tuan Munir pura-pura tidak mendengar.
Rapat dimulai pukul 9.30 tepat, dipimpin oleh G.M. Dan Tuan Munir merasa bangga sekali karena proposalnya untuk melakukan promotion drive terselubung dengan cara membiayai group-group teater rakyat di seluruh propinsi, ternyata dengan mudah diterima dan dia ditunjuk menjadi manajer khusus untuk itu.
Malam itu dia membawa istrinya makan di restoran, dan kemudian mereka menonton bioskop. Baru pukul setengah dua belas malam mereka tiba di rumah, dengan rasa puas.

Latar
Alur tentulah tidak akan terjadi di dalam suatu vacuum, kekosongan. Mestilah ada waktu dan tempat kejadian itu berlangsung. Dengan demikian kita mengatakan bahwa alur itu mempunyai latar waktu dan latar tempat. Tapi ini baru dua saja dari latar-latar yang sangat penting bagi ‘masuk akal’-nya sebuah narasi. Masih ada latar-latar yang lain, yaitu latar budaya, latar ekonomi, latar politik, dan latar lainnya. Hal ini untuk membenarkan dan memberi kesaksian bahwa memang di sanalah terjadi peristiwa itu. Ini semua harus jelas dan tajam, sedemikian tajamnya, sehingga cerita itu tidak bisa dipindahkan begitu saja ke lokasi serta waktu lain, tanpa mengurangi nilainya.

Warna Lokal
Semua latar yang kita bicarakan di atas agaknya dapat disimpulkan dalam sebuah istilah saja: warna lokal. Warna lokal yang tajam menggambarkan bukan saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua hal-hal yang kita bicarakan di atas, sedemikian rpa sehingga cerita yang sama tidak bisa terjadi di tempat lain, atau pada waktu lain. Di samping deskripsi yang teliti mengelai lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat di dalam sebuah cerita, ada pula yang memasukkan unsur dialek terutama dalam percakapan untuk mempertajam warna lokal. Warna lokal yang utuh, yang tajam, biasanya dinilai para kritikus sastra sebagai faktor yang positif.

Kisi-kisi
Kisi-kisi diperlukan sebagai persiapan sebelum mulai menuliskan suatu cerita narasi. Ini gunanya untuk menjaga agar jangan terjadi anakronisme, yaitu adanya orang atau kejadian yang salah waktu.

Posisi Narator
Dalam bahasa Inggris posisi narator, point of view, dalam kaitannya dengan narasi, bukan saja berarti sudut pandang, tetapi lebih dalam dari itu, karena menyengkut struktur gramatikal sebuah narasi. Ini menyangkut siapa yang ‘bercerita’ di dalam narasi itu, dan ini sangat mempengaruhi struktur cerita itu. Oleh karena itulah di sini, point of view itu kita terjemahkan saja dengan “posisi Narator”.
Posisi narator dapat sebagai orang pertama atau “aku”-an. Dan dapat juga “Dia”-an.

Dialog
Yang dimaksud dengan dialog adalah percakapan di antara tokoh-tokoh di dalam narasi. Ada narasi yang penuh dengan dialog. Jalan cerita, karakter tokoh, konflik dan sebagainya, kita ketahui pula dari dialog-dialog ini. Ada narasi yang msikin dialog, bahkan ada cerita pendek yang tanpa dialog sama sekali. Ada tidaknya dialog ini sepenuhnya adalah hak penulisnya.
Namun, agaknya sebaiknya ada dialog secukupnya di dalam narasi. Ada ungkapan perasaan akan lebih tajam dan bermakna bila diungkapkan melalui dialog daripada dibandingkan dengan jika hanya diceritakan oleh narator. Lagi pula dialog dapat mengemban warna lokal.
Jika Anda menulis akan menggunakan dialog, hendaknya dijaga konsistensi masing-masing tokoh dan laras bahasa dalam dialog yaitu menggunakan bahasa lisan yang lazim.

Pola Narasi
Sebuah narasi dapat tersusun menurut berbagai pola. Yang paling sederhana agaknya adalah pola yang berasal dari Aristoteles (abad IV sebelum Masehi). Sebuah narasi katanya harus terdiri atas tiga bagian: awal, tengah dan akhir.
Pada bagian awal, katanya haruslah seperti mata pancing dengan umpan yang lezat, sehingga begitu orang membacanya, hatinya langsung terpaut. Awal itu harus memperkenalkan tokoh-tokoh yang memainkan peranan di dalam cerita itu, serta memberi latar belakang yang diperlukan untuk kelancaran cerita itu. Dan di samping itu semua awal harus pula menyiratkan, atau memberikan lanjaran bagaimana kira-kira cerita itu berakhir.
Bagian tengah dimulai ketika di dalam cerita itu mulai muncul komplikasi, tikaian atau keruwetan, yang menjurus ke konflik. Dan menuju ke titik kritis terakhir, yang paling menentukan yang dinamakan klimaks. Perlu dicatat yang dimaksud konflk ini tidak perlu konflik fisik semata. Bisa saja konflik non-fisik (batin). Konflik itu biasanya memang diakhiri dengan sebuah ledakan yang biasanya disebut klimaks.
Akhir berupa kelanjutan nasib orang-orang yang terlibat dalam narasi, tetapi ada pula yang singkat saja. Bahkan ada pula narasi yang akhirnya tidak dituliskan, hanya tersirat, dan pembaca dipersilakan menduga sendiri.

Gaya Kilas Balik
Baik pola Aristoteles maupun pola-pola yang lain yang diciptakan oleh penulis-penulis baru agaknya gaya kilas balik merupakan yang cukup besar jumlah penggemarnya. Gaya ini berusaha ‘menyeret’ pembacanya langsung memasuki inti permasalahan cerita. Biasanya cerita dimulai dekat menjelang klimaks. Dan seperti, sesudah klimaks langsung tiba akhir cerita yang sebaiknya singkat saja. Namun, pada jarak yang singkat antara saat ‘dekat menjelang klimaks’ dan ‘akhir’ itu, semua peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang membawa kepada keadaan tegang, konflik dan kilmaks tadi, semuanya diceritakan dalam bentuk kilas balik (flash back). Sesudah berkilas balik baru kita ceritakan klimaks-nya, kemudian diikuti dengan akhir cerita.
Dongeng
Secara gampangnya dapatlah kita katakan bahwa dongeng adalah narasi romantis, yang biasanya diawali dengan frasa waktu semacam “Pada zaman dahulu….” Atau frasa tempat semacam “Di suatu negeri ….”
Pada umumnya dongeng-dongeng tidak diketahui siapa penciptanya yang pertama kali. Lagipula ada banyak dongeng yang sama yang diketemukan di berbagai daerah yang kadang-kadang sangat berjauhan. Ada saja kemungkinan dongeng-dongeng yang selama ini kita duga sebagai milik asli bangsa kita ternyata berasal dari seberang lautan, yang dibawa oleh para pendeta, saudagar, atau musafir pada zaman dahulu.
Namun semua ini tidaklah berarti kita tidak dapat menciptakan dongeng. Di dalam majalah anak-anak kadang-kadang muncul dongeng baru yang asli, yang khusus diciptakan untuk para pembaca majalah itu. Kadang-kadang di media massa kita temukan dongeng modern, yang diciptakan oleh orang dewasa, yang isinya sering-sering berupa sindiran politik, pengajaran moral dan sebagainya, yang dinamakan Satir.
Menceritakan kembali sebuah dongeng yang telah dikenal agaknya merupakan latihan menulis narasi yang amat baik, karena bagaimana mustahilnya pun ceritanya, di situ masih ada logika, yaitu logika dongeng, dan di situ masih ada urut-urutan peristiwa yang harus dipelihara agar cerita itu dapat dmengerti orang lain. Oleh karena itulah latihan menulis narasi di dalam latihan ini dimulai dengan dongeng.

Dialog
Cerita di atas menggunakan ragam bahasa sehari-hari. Untuk sebuah dongeng umumnya menggunakan menggunakan dialog seperti “Hamba ini sebatang kara.…”
Namun, untuk cerita modern agaknya ragam bahasa sehari-hari itulah yang paling kena. Banyak cerita masa kini menggunakan dialek, atau bahasa daerah, di dalam dialog-dialognya, dan kini turut membangun warna lokal

Cetak miring
Cetak miring, atau italic selalu harus dipakai untuk kata-kata asing yang dianggap belum diterima sebagai milik bahasa yang sedang dipergunakan (bahasa Indonesia). Dalam tulisan tangan atau pengetikan dengan mesin ketik biasa, untuk menyatakan italic ini diberi garis bawah.

Tanda Petik
Perhatikan penggunaan tanda petik (“…. “) dalam cerita. Terutama sekali, perhatikan tanda petik tutup ( …”), yaitu bagaimana posisinya terhadap tanda-tanda lain seperti koma( ,), titik (.), tanda tanya ( ? ), tanda seru ( ! ). Lihat pula bahwa tanda seru dan tanda tanya, tidak ada lagi tanda titik maupun koma.
Yang dipetik adalah “ucapan langsung”, yaitu kata-kata yang keluar dari mulut seseorang di dalam cerita itu. Dengan sendirinya kata-kata yang bermain di benak seseorang tidak diberi tanda petik. Perhatikan Dongeng 1. Kalimat “… suamiku sudah berkhianat, pikirnya.” Jika seandainya kalimat itu diucapkannya, perlu diberi tanda petik, tapi di sini ucapan itu tidak keluar dari mulutnya, oleh karena itu tidak dipetik.

Bahan ini diperoleh saat Diklat MMAS

Tidak ada komentar: