TAJUK RENCANA
Rabu, 26 November 2008 | 01:29 WIB
Profesi yang Tercabik-cabik
hik... ihik... ihik”. Begitu Mang Usil merayakan Hari Guru Nasional 25 November 2008. Proposisi sebelumnya berbunyi, ”Oh, insan cendekia”.
Kecuali ”ihik... ihik... ihik...” komentar di atas dipungut dari lirik terakhir himne guru yang diamandemen. Sarat makna. Ya, menyindir, ya menangis, ya tak peduli berbagai komentar orang tentang profesi keguruan, guru, dan dosen.
Era reformasi juga ditandai munculnya puluhan asosiasi guru. Dulu hanya ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari kelahirannya, 63 tahun lalu, ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional 25 November. Sekarang lebih dari 20 asosiasi, bahkan ada parpol mendirikan organisasi guru.
Dulu anggota PGRI hanya kenal monoloyalitas, sekarang keharusan itu tak berlaku. Guru dan dosen anggota PGRI mana pun tidak boleh menyalurkan aspirasi politik masing-masing. Seiring upaya parpol menjaring suara dari segala lapisan dan profesi, pemegang profesi keguruan pun jadi sasaran.
Jumlah PNS sekitar 4 juta orang, 2,6 juta di antaranya pemegang profesi guru-dosen, memang bukan jumlah yang signifikan. Namun, kalau dimasukkan pula guru-dosen bukan PNS, bukan anggota asosiasi guru apa pun, dan mereka menangani puluhan juta mahasiswa dan siswa calon pemilih, keberadaan mereka perlu diperhitungkan. Mereka bisa berpengaruh dalam menentukan pilihan parpol.
Anjuran agar mereka tidak terpecah belah dengan adanya puluhan asosiasi dan tetap di bawah PGRI, tidak sepenuhnya bebas kandungan kepentingan politik. Sebaliknya membiarkan mereka terpecah-pecah dalam asoasiai guru, apalagi organisasi di bawah parpol, berarti membiarkan mereka semakin tercabik-cabik dalam urusan perjuangan meningkatkan penghargaan dan kesejahteraan.
Apakah persoalan mendesak dan mendasar yang mereka perjuangkan? Kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo: sahkan segera Rancangan Peraturan Pemerintah menjadi PP Guru, turunan dari UU Guru dan Dosen! Termasuk kelanjutan program sertifikasi.
Begitukah suara guru seumumnya? Ternyata tidak! Ada sebagian guru, di antaranya mereka yang tergabung dalam Federasi Guru Independen Indonesia. Rancangan PP itu harus direvisi lebih dulu karena belum menjamin kesejahteraan guru swasta.
Profesi guru, profesi terhormat. Tak ada profesi apa pun tanpa peran serta guru. Mereka punya hak menyalurkan aspirasi politik sesuai hati nurani. Anjuran agar mereka bertekun pada peningkatan profesionalisme tetapi tidak diimbangi keberpihakan pada kondisi riil mereka, hanya bumerang dan pemanis belaka.
Jangan salahkan kalau parpol akan memanfaatkan kondisi profesi guru yang tercabik-cabik. Kita amini sindiran kondisi guru: ”Oh insan cendekia. Ihik... ihik... ihik!”
Kompas.Tajuk.rencana
26-11-2008
Jumat, 30 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar